Semua tahu bahwa sejarah prostitusi (pelacuran) sudah ada sejak era Yunani Kuno (400 BC). Motifnya jelas untuk kepentingan hedoniak (kenikmatan) si pemakai (laki-laki) dan kepentingan ekonomi sang pelacur (sekaligus menikmatinya). Pseudo-Demosthenes menyatakan di depan majelis warga negara, "kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan, selir untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, dan pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita". Jadi, nilai keuntungannya adalah sang penikmat dan sang pemberi kenikmatan.
Keuntungan Pajak. Bilamana praktek prostitisi dilegalkan oleh negara (kasus negara-negara kapitalis lainnya= makmur), maka status mucikari menjadi manajer wajib dikenakan pajak. Dan semua hasil dari prakteks prostitusi dikenakan pajak (Ppn) sebagaimana diperlakukan kepada selebiti, pns dan pengusaha. Diperkirakan meraup triliunan rupiah. Dokter spesialis kulit/kelamin kena imbas keuntungan (memberi rekomendasi medis layak praktek= juga dikenakan pajak). Termasuk perhotelan. Catatan: semua aktivitas prostitusi cuma diperbolehkan di hotel berbintang (sasaran pelanggan kelas atas). Jadi, dapat dikatakan efek ekonomi praktek prostitusi signifikan.
Kerugiannya, mengingat kegiatan pelacuran masih dianggap oleh sebagian besar warga di masyarakat adalah perbuatan asusila/amoral/dosa, maka secara sosial sang pelacur cenderung mengalami alienasi dan konsekuensi lain yang ditimbulkan (penyakit). Kerugian sosial lainnya adalah menimbulkan stigmatisasi pada keluarga sang pelacur. Seandainya sang pelacur memiliki anak, maka anaknya akan dicemoh oleh teman sejawatnya 'anak pelacur'.
Kerugian lainnya adalah berkenaan dengan penipuan, kekerasan dan pemerasan. Karena praktek prostitusi terjadi dalam pasar 'gelap' alias ilegal, maka memungkinkan para pelaku prostitusi (pelacur dan mucikari) terapkan modus penipuan, yakni memanipulasi profil sang pelacur demi nilai jual (perempuan biasa dibilang mahasiswi/siswi). Kerugian lainnya adalah kemungkinan terjadinya pemeraan kepada pelacur yang disekap/ditangkap oleh oknum-oknum tertentu. Hasil pemerasan ditilep sendiri.
Mungkin saja bisa berubah persepsi masyarakat yang demikian itu, sekiranya profesi pelacuran secara normal/legal menjadi bagian dari pranata sosial di masyarakat (memfasilitasi kebutuhan biologis/esek-esek) sebagaimana kita memenuhi kebutuhan untuk makan manfaatkan pranata restauran. Artinya, dengan berubahnya persepsi masyarakat atas makna pelacuran, maka sang pelacur dan keluarganya dalam kehidupan sehari-hari diterima secara wajar; tidak menerima cemohan dari masyarakat. Mungkin?
Keuntungan Pajak. Bilamana praktek prostitisi dilegalkan oleh negara (kasus negara-negara kapitalis lainnya= makmur), maka status mucikari menjadi manajer wajib dikenakan pajak. Dan semua hasil dari prakteks prostitusi dikenakan pajak (Ppn) sebagaimana diperlakukan kepada selebiti, pns dan pengusaha. Diperkirakan meraup triliunan rupiah. Dokter spesialis kulit/kelamin kena imbas keuntungan (memberi rekomendasi medis layak praktek= juga dikenakan pajak). Termasuk perhotelan. Catatan: semua aktivitas prostitusi cuma diperbolehkan di hotel berbintang (sasaran pelanggan kelas atas). Jadi, dapat dikatakan efek ekonomi praktek prostitusi signifikan.
Kerugiannya, mengingat kegiatan pelacuran masih dianggap oleh sebagian besar warga di masyarakat adalah perbuatan asusila/amoral/dosa, maka secara sosial sang pelacur cenderung mengalami alienasi dan konsekuensi lain yang ditimbulkan (penyakit). Kerugian sosial lainnya adalah menimbulkan stigmatisasi pada keluarga sang pelacur. Seandainya sang pelacur memiliki anak, maka anaknya akan dicemoh oleh teman sejawatnya 'anak pelacur'.
Kerugian lainnya adalah berkenaan dengan penipuan, kekerasan dan pemerasan. Karena praktek prostitusi terjadi dalam pasar 'gelap' alias ilegal, maka memungkinkan para pelaku prostitusi (pelacur dan mucikari) terapkan modus penipuan, yakni memanipulasi profil sang pelacur demi nilai jual (perempuan biasa dibilang mahasiswi/siswi). Kerugian lainnya adalah kemungkinan terjadinya pemeraan kepada pelacur yang disekap/ditangkap oleh oknum-oknum tertentu. Hasil pemerasan ditilep sendiri.
Mungkin saja bisa berubah persepsi masyarakat yang demikian itu, sekiranya profesi pelacuran secara normal/legal menjadi bagian dari pranata sosial di masyarakat (memfasilitasi kebutuhan biologis/esek-esek) sebagaimana kita memenuhi kebutuhan untuk makan manfaatkan pranata restauran. Artinya, dengan berubahnya persepsi masyarakat atas makna pelacuran, maka sang pelacur dan keluarganya dalam kehidupan sehari-hari diterima secara wajar; tidak menerima cemohan dari masyarakat. Mungkin?
Sumber : Albert Kusen, Faculty of Social Science & Politic/Lecturer, Sam Ratulangi of University
Blogger Comment
Facebook Comment